Nama panjangnya adalah Rinduwati Suliandara. Mba Rien, begitu ia biasa
dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Kino tak
pernah tahu usia wanita itu yang sesungguhnya, tetapi pokoknya ia tak
tampak terlalu tua, walau jelas bukan pula remaja. Wajahnya -jika
memakai ukuran normal- tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu
jelek. Biasa-biasa saja Tetapi Mba Rien memiliki mata yang sangat indah,
bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang -menurut
Kino- sangat menarik, karena selalu kelihatan basah.
Waktu itu Kino
duduk di bangku SMA, kelas dua A. Untuk usianya, waktu itu Kino
tergolong “terlambat” dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman wanita
istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yang
naksir, namanya Alma, gadis dari kelas dua B. Tetapi Kino tidak
tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Kino,
ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak tertarik. Berenang di
sungai lebih menarik bagi Kino, katimbang jalan-jalan dengan Alma.
Tetapi
Mba Rien menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Kino
mengantar adik perempuannya, Susi, ke sanggar untuk latihan menari. Kino
sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun itu
(jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda,
diboncengnya Susi ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di
tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Rien, sedang
mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.
“Selamat sore Susi…,”
ucap Mba Rien menyapa Susi, lalu sekejap melirik Kino. Suara wanita itu
lembut tetapi bernada wibawa, pikir Kino sambil melepas gandengan tangan
adiknya.
“Mba Rien, ini kakak saya…,” Susi menunjuk ke Kino yang
masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Rien mengangkat muka, dan
tersenyum kepada Kino. Agak canggung, Kino membalas tersenyum dan
berucap serak, “Selamat sore, mbak…”.
Mba Rien hanya mengangguk tanpa
berhenti tersenyum, lalu menerima salam Susi, dan berbalik menuju
tempat segerombolan anak-anak yang sedang bersiap belajar menari. Kino
masih berdiri, memandang tubuh Mba Rien dari belakang, dan entah kenapa
ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Rien menyita
perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yang
menawan. Astaga, pikir Kino, wanita ternyata bisa menarik juga!
Untuk
beberapa jenak, Kino masih berdiri di depan pintu, menelan ludah
berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa?
Entahlah. Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Rien berbekas keras di
kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Kino tiba-tiba memiliki
pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan
diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara
lain di kepalanya. Meremas….? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir
Kino gelisah. Berkali-kali Kino merasa sadel sepedanya terasa lebih
kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial!
sergahnya dalam hati.
Ketika ayah memintanya menjemput Susi, dengan
bersemangat Kino mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit
sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak
jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Rien
melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan
anak-anak kecil. Pandangan Kino tak lekang dari gerakan-gerakan Mba
Rien, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang
indah! Selama ini, bagi Kino menari adalah kegiatan perempuan yang tak
menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Rien mengangkat
tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya …., Kino menelan
ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Kino
membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. Tetapi,
seperti ditarik magnit, muka Kino sesekali kembali lagi memandang ke
ruang latihan.
Dari ruang tari, Rien juga bisa melihat keluar, walau
perbedaan terang menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke
arah tempat Kino duduk. Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Rien melirik
dan mengernyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian.
Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tidak
pernah berlama-lama di sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu
kakak atau ayah atau paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari
bukanlah sesuatu yang menarik untuk pria. Makanya, tingkah Kino bagi
Rien agak tidak biasa.
Ketika akhirnya latihan selesai, Kino bangkit
dan mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon
kamboja. Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin
mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah.
Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia
berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Susi
keluar dan menghampirinya.
Rien, dengan sedikit peluh di lehernya,
mengucap salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepas
stagen, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Susi berlari ke arah
penjemputnya, remaja yang betah berlama-lama di bawah pohon kamboja
menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga
rambutnya yang sebahu kini tergerai, Rien berdiri di pintu dan berucap
lembut, tetapi juga cukup keras untuk didengar Kino.
“Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik…,” ujarnya. Kino cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang.
Rien
tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Kino menelan
ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik
sekali. Rasanya, Kino seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara
di dalam kepalanya lagi. Dan Kino pun cepat-cepat membungkuk berpamitan,
lalu menggandeng tangan Susi menuju sepeda. Rien kembali tersenyum
memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan sanggarnya.
*****
Sejak
pertemuan itu, Kino sering melamunkan Mba Rien. Lebih gila lagi, saat
mandi dan menyabuni tubuhnya, Kino merasakan darahnya berdesir
membayangkan Mba Rien. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air
dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh
celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia
menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk
dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada
yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!
Malam
hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Kino kembali
membayangkan Mba Rien. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat berisi,
pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung walau tidak
terlalu besar. Kino juga terkenang lehernya yang agak basah oleh
keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu
basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum,
menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit
bibir itu?
Kino makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang
lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah
sudah sepi. Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Kino menelungkupkan
tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya
terjepit di antara tubuhnya dan kasur yang empuk. Tanpa sadar, Kino
menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur.
Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Rien.
Terbayang ia mengulum bibir Mba Rien yang basah. Terbayang dadanya yang
ceking menempel di dada Mba Rien yang kenyal. Gila! Kino terlonjak
ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya.
Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah.
Hanya saja, di
pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana
dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!
*****
Beberapa
hari setelah perjumpaan pertamanya dengan Kino, kembali Rien terheran
melihat remaja itu sudah ada setengah jam sebelum latihan usai. Setengah
jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap Rien dalam
hati sambil terus menggerakkan badannya di depan para penari cilik.
Berkali-kali Rien melirik ke arah pohon kamboja, dan bertanya-tanya
dalam hati, mengapa gerangan remaja itu begitu betah menunggu adiknya.
Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke dalam dengan
seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat Rien dalam
hati. Tetapi, mungkin juga ia tertarik pada tarianku. Siapa tahu? Atau
mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Rien dalam hati. Ia tersenyum
sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.
“Satu … dua…tiga ….
empat, putar……,” Rien memutar tubuh memberi contoh, diikuti oleh
bidadari-bidadari kecil yang tertatih-tatih mencoba meniru sesempurna
mungkin.
“Satu .. dua … tiga … empat, putar….,” suaranya lembut, tetapi tegas dan cukup nyaring.
Kino
menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara Mba
Rien sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yang berhubungan
dengan wanita itu selalu bagus. Apa-apaan ini? sebuah suara menghardik
di kepala Kino, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya sebatang
rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Kino merenung,
bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dalam dirinya. Mengapa Mba
Rien jadi begitu menarik, padahal ia jauh lebih tua dariku? Mengapa Alma
yang seusia dengannya itu tidak semenarik Mba Rien, padahal Alma juga
cantik. Kino menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya terangkat lagi,
memandang lagi ke dalam ruang latihan.
Cuma kali ini ia tidak melihat
Mba Rien di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya, mencari-cari,
kemana gerangan wanita itu. Kino bahkan memiringkan tubuhnya, sampai
hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yang masih terjangkau
pandangan. Mba Rien tidak ada, sementara murid-muridnya masih bergerak
sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?
Hampir copot
rasanya jantung Kino, ketika tiba-tiba Mba Rien muncul dari balik tembok
rumah di sebelah ruang latihan. Rupanya, ada gang yang menghubungkan
rumah itu dengan ruang latihan, yang tidak terlihat dari tempat Kino
duduk. Rupanya Mba Rien meninggalkan murid-muridnya untuk masuk ke rumah
itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan, tetapi tidak
melalui gang, melainkan lewat pintu depan. Lewat di depan Kino,
melenggang santai dengan kainnya yang ketat membungkus tubuhnya yang
indah.
“Hayo.., tunggu di dalam, Dik!” ucap Mba Rien menghentikan
langkah sebelum masuk. Senyum yang memikat Kino terhias di bibirnya.
Kino menelan ludah, tak bisa menyahut, dan cuma bisa meringis lagi.
Betul-betul seperti kera yang sedang kepedasan.
“Hayo …,” ajak Mba Rien lagi, lembut tetapi tegas.
Kino
bangkit, dan dengan ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Rien tertawa
kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Kino
menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Rien sudah
berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Kino mencari-cari
bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri
saja, menyender di sebuah tiang yang cukup besar.
Rien melirik,
melihat remaja itu berdiri kikuk. Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah
begitu, kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja
ia berdiri sampai pegal. Tersenyum Rien mendengar kata hatinya yang
terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal!
Selama 20 menit,
Kino berdiri saja melihat adiknya latihan menari. Susi terlihat senang
melihat kakaknya sudah hadir. Berkali-kali Susi kelihatan ketinggalan
langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Kino mengernyitkan
dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Susi agar tetap
serius. Rien tersenyum melihat tingkah keduanya.
Ketika akhirnya
latihan selesai, Kino bernafas lega. Bukan saja karena ia sudah pegal
berdiri, tetapi juga karena sebenarnya ia agak tersiksa. Betapa tidak?
Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Rien, tetapi ia harus
menyembunyikan perasaan itu. Betapa sulit!
Rien berjalan mendekati
Kino sambil melepas stagen. Kino berdiri kikuk ketika akhirnya Rien
berdiri di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yang
ternyata tidak mengganggu Kino.
“Suka menari?” tanya Rien. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya. Senyumnya mengembang halus. Kino menelan ludah lagi.
Kino menggeleng kuat. Rien tertawa kecil, “Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah menunggu adikmu latihan.”
“Saya …., sebetulnya saya suka ..,” ucap Kino tergagap.
“Oh,
ya???” Rien membelalakan matanya yang indah, senyumnya mengembang lagi.
Kino menelan ludah lagi. “Seberapa suka, sebetulnya …,” tanya Rien
lagi, ringan.
“Mmmm … saya suka menonton saja.” jawab Kino sekenanya.
“Menonton anak-anak kecil menari?” tanya Rien. Wah! Kino tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial!
Rien
tergelak melihat Kino tertunduk malu. Kini ia tahu apa yang
sesungguhnya ditonton laki-laki belia ini! Ia ke sini untuk menontonku,
melihat tubuhku! Dan kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Rien,
menyenangkan penonton adalah tujuan utamanya menari, bukan?
“Siapa
nama kamu?” tanya Rien lembut sambil melepas ikat rambutnya. Kino
mengangkat muka, melihat kedua tangan Rien terangkat, dan samar-sama
kedua ketiaknya yang mulus terlihat dari lengan bajunya yang agak
tersingsing.
“Kino..,” terdengar jawaban pelan. Rien tersenyum lagi,
sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu
melihat apa yang ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Rien! sebuah suara
terdengar di kalbunya.
Siksaan bagi Kino baru berhenti ketika Susi
menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik
dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.
“Datang lagi, yaaa!” seru
Rien ketika Kino sedang bersiap mengayuh. Duh! Kino jadi serba salah.
Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah, sudahlah! sergahnya dalam hati
dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan Rien memandang kakak-beradik
itu menghilang di balik tikungan. Senyum manis masih di bibirnya.
*****
Demikianlah
seterusnya, Kino semakin terpikat oleh wanita yang pandai menari dan
pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar, meminta kepada
ayah untuk tidak usah menjemput Susi dengan alasan harus latihan bola
kaki. Selama empat kali latihan, ia tidak mampir ke sanggar, dan tidak
berjumpa Mba Rien. Dan itu artinya, sudah sebulan ia tidak melihat tubuh
molek itu melenggak-lenggok. Lama juga, ya?
Sampai suatu hari, ada
pertunjukkan dari di balai kota, diselingi permainan band sebuah
kelompok amatir yang cukup populer di kota kecil ini. Kino datang
bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton band. Acara
tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Kino baru tiba di
atas pukul 8, saat band mulai naik panggung.
Di situlah Kino berjumpa
lagi dengan Mba Rien. Saat band memainkan lagu ketiga, Kino pergi ke
belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sana lah terdapat
toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu meliwati
pintu yang menuju tempat pemain berganti pakaian, Kino melihat Mba Rien
duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia menyelinap ke balik
tembok yang agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat Mba Rien, tetapi
wanita itu tidak bisa melihatnya.
Rien memakai jeans ketat dan sebuah
kaos agak longgar berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas,
memperlihatkan lehernya yang jenjang dan agak basah oleh keringat. Ia
tampak letih, dan sedang menikmati sebotol minuman dingin. Bibirnya
menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak melamun. Bagi Kino, Mba Rien
tampak menawan malam itu. Ia kemudian melihat wanita itu bangkit menuju
ke sebuah kamar di belakang panggung. Kino mengikuti gerak-geriknya
dengan seksama, aman dalam lindungan bayang-bayang yang gelap. Tak lama
kemudian, tampak Mba Rien membuka sebuah pintu, dan di dalam terlihat
terang berderang tetapi sepi. Berjingkat, Kino berpindah tempat sehingga
bisa memandang lebih bebas ke dalam ruangan itu.
Rien menutup pintu
ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong, sehingga masih
tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dengan jantung berdegup kencang,
Kino melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Semua orang
berada di depan panggung asyik menonton band. Pelan-pelan ia melangkah
mendekati ruang yang ternyata adalah ruang ganti pakaian bagi para
artis. Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yang tersisa, ia
bisa melihat ke dalam. Kino menelan ludah, dan menahan kagetnya. Di
dalam, Mba Rien tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi Kino.
Tubuhnya yang putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia
berputar menghadap sebuah cermin yang pantulannya terlihat dari tempat
Kino berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yang indah, terbungkus beha
yang tampak terlalu kecil. Lutut Kino terasa bergetar.
Kemudian
tampak Mba Rien melepas celana jeansnya. Kino merasa kakinya terpaku di
tanah. Dengan kuatir ia melihat ke sekeliling, takut kepergok. Tetapi
suasana di sekitar ruang ganti itu tetap sepi. Maka ia tetap mengintip
ke dalam. Jeans sudah dibuka dan tergeletak di lantai. Mba Rien hanya
bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan main. Putih mulus,
padat berisi. Kino berkali-kali menelan ludah. Pemandangan indah itu
berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini Mba Rien sudah berganti
rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi Kino, rasanya lama sekali.
Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali ke depan panggung.
Rien
mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu dan
melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang
tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu,
dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip.
Tetapi di luar sepi, tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku
saja, pikir Rien.
Sementara itu, di depan panggung Kino gelisah
mengenang pengalamannya. Lagu-lagu yang dibawakan band di depannya
terasa hambar. Teman-temannya terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang
bergairah. Dengan alasan mengantuk, ia pulang lebih dulu dari
teman-temannya yang keheranan. “Ada apa denganmu, Kino?” tanya sobatnya,
Dodi. Ia tidak menjawab, dan hanya menggumam sambil melangkah
meninggalkan arena pertunjukkan. “Dasar kutu buku …,” gerutu Iwan,
temannya yang lain. Kino tak peduli, dan terus melangkah menembus malam.
Dan
malam itu, Kino menikmati hayalnya di atas ranjang, meremas-remas
kelaki-lakiannya yang menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Rien.
Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat
memenuhi telapak tangannya. Dengan tissue yang sudah disiapkannya, ia
melap tangannnya, lalu tidur nyenyak sambil berharap bertemu Mba Rien di
alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia
sebetulnya sudah sangat mengantuk malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar